1. Sejarah Terbentuknya Kitab-kitab Perjanjian Lama
Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu
Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri
dari 27 kitab.
Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang ?
Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama :
- Hukum-hukum Taurat,
- Kitab nabi-nabi, dan
- Naskah-naskah.
Lima buku pertama : Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan
Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh
kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini
adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab
Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari
Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa
dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi
tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting
dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini.
Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi
Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah
penting.
Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant)
kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan
Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab
Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama
ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti.
Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran
Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik
mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew)
bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi
terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat,
mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani
(Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh
karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka,
terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu
itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa
Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM)
proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam
bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut
tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel.
Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint,
yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah
penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci
resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia
Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati
dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram.
Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang
digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian
Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan
dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap
diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa
Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi
punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100
Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin
sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik.
Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
- Ditulis dalam bahasa Ibrani;
- Sesuai dengan Kitab Taurat;
- lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
- dan ditulis di Palestina.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk
menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum
dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh,
Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester
dan Daniel. (
Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh).
Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat
menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap
terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan
konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi
menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria
diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang
ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Patriarch Gereja (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja
yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun
tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (= second-listed) yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".
Tantom-angkola : SEJARAHnya kejadian PERJANJIAN LAMA alkitab
tantom angkola berdiri sejak tahun 2012 : 1. Sejarah Terbentuknya Kitab-kitab Perjanjian Lama Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46...